Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2015

R.I.P si melankolis ku

Si melankolis ku kini habis ditelan rindu, dihapus rasa yang tlah berlalu. Aku dan kawan-kawanku dengan ribuan fakta yang coba kami terka. Kenyataan pahit harus kami terima dengan lapang dada. Dia kini telah mati dimakan rasa yang semakin murka. Dia kembali pada dirinya yang dulu, yang tak kenali apa itu melankolis hanya paham cara humoris. Sekali lagi! Ku jelaskan kepadamu, ke pada mereka dan ke pada aku jika melankolis ku kini telah mati, di kubur dalam-dalam bersama sisa kenangan malam. Bersama sebongkah hati dengan rasa yang tlah memudar. Bersisipan rasa hambar yang coba untuk dibuang. Lalu, biarkan dia lari pada keramaian. Menghibur lara, membuang duka. Biarkan dia menari-nari diatas bahagia yang kini ia punya. Biarkan.... Lepaskan.... Tinggalkan.... Untuknya, melankolisku yang mati malam tadi.

Kisah ini habis

Sudah ku pastikan ini adalah kesalahan besar. Ketika si banci hanya bisa memainkan jari-jemarinya, menggelitikkan hatinya demi kepenatan yang melanda, sedang hati di sebrang sana menitip harapan besar untuk saling mereka genggam. Adalah kali keduanya manusia bodoh mengulangi kebodohannya. Namun sungguh.... Akhirnya penyesalan itu kini belum terlalu larut dalam fana kondisi hatinya. Dia hanya bisa mengangkat senyum bibirnya dalam-dalam. Menata hati yang tersisih agar kembali pulih. Ini bukan sekedar masalah hati, bukan sekedar dua anak manusia dengan rasa yang tak lagi sama, ini tentang dosa yang akan dikhawatirkan ikut menetes bersama milian liter air mata. Sebelum sesal benar-benar menjelma bagai iblis penghasut jiwa, keputusan ini memang pantas menjadi tuntas. Memang seharusnya begini. Ya, begini saja kisahnya. Tak lebih, tak kurang dan jangan harap akan ditambah-tambahkan. Baiklah, selamat malam~

Kisah kosong

Masih seperti malam-malam sebelumnya, ketika hati diperbudak oleh waktu. Menunggu satu hal semu yang diyakini pasti malam ini. Ketika gundah menuai resah sebagai teman sejati. Ketika sunyi dipertajam dengan sepi. Rasanya ini adalah kertas kosong dengan pena tanpa tinta yang bagaimanapun tak akan bisa ku torehkan barisan-barisan kalimat berkisah di dalamnya. Semua hambar dan benar-benar hambar. Kecuali jika malam ini merpati-merpati pos ku telah pulang membawakan jutaan pesan. Untuk ku terima, ku baca, ku nikmati lalu ku balas satu persatu demi lembaran pesan berikutnya yang ku harap dapat habiskan tiap sekon pada malam ini menjadi kepenatan yang gagal menjelma. Hidup ini prinsip namun terkadang prinsip itu mempersulit, ketika apa yang telah menjadi prinsip tak sejalan dengan nasib. Hidup ini realita, namun terkadang aku lebih menikmati ilusi yang ku reka. Hidup ini perjalanan namun terkadang ada saja yang menghentikan, entah untuk mengajak menoleh ke belakang atau sekedar cara untuk

Kabar duka merpati pertama

Seolah dilanda kabar terburuk dari semesta. Lemas tubuh mengiringi sesak di dada disertai cucuran keringat menandakan ketidakkuasa mendengar itu semua. Merpati yang ku nanti tak kunjung tiba ternyata ikut serta menyaksikan kematian kawan sebelahnya. Dia... Merpati pertama yang hampir ku lupa kini mati dikabarkan waktu. Terhempas ribuan meter nan jauh melintangi daratan sana. Tinggal aku seorang, si gadis pada malam-malam yang kini hanya bisa memutar alunan lagu kesayangannya. Kasih yang ku kasihi dalam diam yang agung semasa pijakan pertama pada SMA, kini habis sudah tiada cerita tanpa sisa. Mengulurkan satu persatu fajar yang kan ku kenangan tanpa hadir dirinya. Hanya aku, si gadis dalam malam yang terus saja memutarkan alunan lagu kesukaannya. Yang diam-diam tak pernah dia tahu jika aku tahu itu lagu kesukaannya. Masih ku ingat seminggu lalu, ketika dia merayu dalam bualan-bualan andalannya. Ketika aku hanya tersenyum kikuk menahan keenggananku untuk menatapnya. Ku kira itu mipi, k

Menanti Merpati

Malam ini, tanganku masing kebingungan sendiri pada huruf apa dia akan melangkah lalu menekankan dirinya diatas tombol-tombol mesin ketik lusuh ini. Sedangkan pikiranku pun masih mengawang pada kisah yang mana akan ia ceritakan ke pada kalian. Rasa lapar seolah menjadi pertanda tak ada lagi inspirasi tersisa untuk diapresiasikan menjadi sebuah cerita. Jika boleh jujur…. Malam ini aku masih menanti satu pesan dari merpati putih yang ku terbangkan semalam. Pesan sebuah penantian untuk sebuah kepastian. Aku masih menunggu dibalik jendela kusam kamarku. Aku masih menanti bersama detik yang semakin terganti. Di sini, di kamarku, di temani sisa-sisa ilusi indah semalam yang aku ciptakan sendiri dan kini justru menjelma menghantui kesunyian hatiku malam ini. Sudahlah…,aku bingung mau menceritakan yang bagaimana lagi. Jika benar malam ini merpatiku tak kunjung datang, biar ku matikan lampu kamar lalu ku tutup pintu tanda tak ada lagi yang ku tunggu. ~selamat tinggal… selamat ti

Analogi kita

Kita itu bagaikan terjebak dalam sekat-sekat berdimensi. Kita sendiri yang mengiyakan bermain di dalamnya tapi kita sendiri juga yang tidak bisa keluar dari dalamnya. Kita itu bagaikan orang bodoh yang hanya bolak-balik pada lintasan yang sama. Kita itu bagaikan alat eror yang tak pernah tahu kapan anak berfungsi normal lagi. Sebenarnya semua ini cukup sederhana untuk kita jabarkan. Sesederhana menyeduh secangkir kopi panas di dalam kedai bersamamu, hanya saja kamu dan aku yang mempersulit semua itu. Gengsi kita terlalu sukses untuk mengahalangi semua ini. Sampai akhirnya cerita ini serasa hambar hingga basi. Ya... Begini-begini saja, berjalan pada satu lintasan lalu kembali lagi pada lintasan yang sama. Ini salah kita, kita terlalu rumit menerjemahkan semua ini. Terlalu rumit kita mengartikan semua maksud-maksud tersirat ini. Padahal....jika satu diantara kita mau sejenak saja meletakkan gengsinya lalu memulai kembali sebuah percakapa, akan ada keyakinan bagi solusi untuk memasuki c

Tragedi cireng: sakeknya tuh disikong

Hae vroh hahaha :D kali ini Gue mau cerita ke kamu-kamu. Hari ini, jangan lupa dicatet tagal 19 februari 2015. Pas....banget tanggal merah karena imlek. Libur dong....yeiyelah. Oke deh...ceritanya mulai dari siang tadi. Saat mentari masih enggan buat muncul karena kehalang sama mendung *tsah. Sejak pagi tadi temen-temen udah pada heboh mau main ke rumah gue. Sebagai anak-anak berprestasi yang hobi bereksperimen, rencananya siang tadi kita mau bereksperimen. Ya, kita mau bereksperimen pakek solanum tibelosum, Daucus carota, bubuk tapioka, bubuk terigu ditambah NaCl. *uhuk buat yang ga tau itu semua bahan apaan, yang jelas kita mau bikin sesuatu jenis dari campuran bahan kimia + alami yang diolah dengan takaran hipotesis suka-suka yang nama hasil eksperimennya adalah "ci ai are  ei en gi" alias "CIRENG", oke sip. Diawali makan bakso sebagai sumber energi buat kita sebelum bereksperimen, lalu ngemil klorofil rebus yang dicampur cairan java sugar yang nama asli makan

Pemberi senyum 3 tahun lalu

Dia, entah siapa namun baru ku sadari setelah tiga tahun ini. Samar masih ku ingat ketika dia melemparkan senyuman kepadaku. Memanggil namaku namun aku sendiri masih tak mengetahui siapa dirinya. Berseragam putih abu-abu dengan potongan rambut hampir gundul yang menaiki mobil pick up berduyun-duyun dengan teman-temannya seolah tak menggubris sorot mentari yang bisa saja membuat kulit putihnya ikut hangus seperti halnya teman-teman disekelilingnya. Saat itu juga, aku dengan serombongan temanku satu sekolahan telah berdiri hampir dua jam di tepian jalan, masih dengan seragam putih biru bercampuran aroma keringat demi menyaksikan hiburan geratis yang hanya ada satu tahun sekali ini. Lambaian tangannya seolah kembali ku lihat tiap kali aku berdiri di tepian jalan ini. Tiga tahun kala itu adalah ketika kota kecil ini mengadakan even rutin setiap tahun berupa karnaval yang dipesertai oleh beberapa komunitas serta anak sekolah TK hingga SMA sederajat. Aku melihatnya kala itu. Dan baru kali i

Bila kelak....

Seperti merasakan hal yang selalu terulang-ulang setiap detiknya. Seperti de javu yang menghantui sunyinya sepi. Dalam hidup, orientasi bisa berubah kemana saja, ke arah yang kamu suka. Setiap orang punya kiblat masing-masing untuk dituju. Dan bila ku temui kiblat berlawanan, di situlah kesendirian menghantui tiap gerak bayangan. Disitulah harus ada yang siap ditinggalkan dan meninggalkan, entah bagaimana caranya. Seperti merasakan kecemburuan yang entah bagaimana bisa aku jelaskan. Seperti merasakan kesindirian dalam hirupikuk kebahagiaan. Tak selamanya jika aku dan mereka berjalan bersama beriringan adalah ribuan hati dengan satu tujuan. Tak selamanya yang menggandeng adalah yang tak juga enggan untung menjegal, menjadiakan sebagai lawan. Sungguh.... Aku lebih memilih sepasang demi kebahagiaan. Demi segengam sukses yang digemgam bersamaan. Bukan hanya sekedar obsesi yang menenggelamkan teman sebagai lawan. Ini adalah ketakutanku yang ke sekian setelah panas hujan menerjang jalan

Tak tuntas

Aku berlari dan aku tak pernah tahu kapan akan berhenti Ingin rasanya waktu ku genggam erat.... , erat...sekali Agar tak pernah lepas untuk ku ulang Ingin aku melangkah pada pijakan yang sama Namun yang sama akan tetap berjalan menjadi hal yang berbeda Seketika ketika aku memilih untuk diam Berhenti sejenak dengan sisa peluh bercucuran Seketika itu, aku tertinggal ribuan langkah jauhnya Aku rindu... Saat tetesan hujan yang turun benar-benar menetes pada tanah Aku rindu... Saat pagi masih disambut mentari cerah, saat pepohonan digoyang angin tanpa arah... Aku rindu.... Saat kaki yang melangkah adalah kaki yang benar Kaki yang tak pernah takut akan dengan apa ia terluka Kaki yang tak pernah surut dengan ragu yang menyapa Aku rindu... Saat mata yang melihat menerawang jelas diiringi lekukan bibir yang mengangkat tulang pipi terjunjung ke atas Sebuah senyuman...tanpa beban Aku rindu...benar benar aku rindu.... ~sebuah coretan di sebelah mega mentari senja, dengan segu

Dia~Si lelaki bodohku

Sore itu, perbincangan yang diawali dengan ejek-mengejek, yang semula ditujukan untuk membahas tugas yang telah dua bulan lamanya terbengkalai, yang rencananya akan dihadiri oleh lima anggota kelompok yang telah meyatakan diri akan on time di TKP, nyatanya, kini hanya menyisakan Aku dan Dia. Tiga anggota kelompok kami yang lainnya mendadak jadi manusia-manusia paling sibuk sedunia. Katanya, ada janji ini...janji itu...janji blablablabla. Sudahlah, aku muak membahas itu semua. Sore itu, di dalam kedai kopi kecil dekat rel kereta di sudut kota ini, hanya Aku dan dia yang dengan "terpaksa" menyelesaikan semua tugas yang hampir jamuran terbengkalai itu. Dalam setengah jalan kami berdua mengerjakan tugas rintik hujan turun dengan begitu kompaknya. Sedikit membisingkan telinga. Kami harus sedikit membesarkan volume suara jika akan mengucap kata. Namun entahlah.... Rasanya, hal itu tak menghalangi Dia untuk tetap melanjutkan tiap-tiap bagian cerita yang ia kisahkan kepadaku sore it

Negeri Bertopeng

Negeri bertopeng.... Mari ku ceritakan kepada mu, satu negeri yang ku kenali semu, negeri bertopeng namanya. Negeri topeng yang dulu ku sembah agungkan tak ku sangka adalah tak lebih dari tumpukan sampah menjijikkan. Di negeri bertopeng, manusia berbadan syetan, berhati hewan. Ku temukan ribuan topeng di sana. Menjelma, merayu, merubah sikap menuju surga. Di negeri bertopeng, tak hayal hanya dunia semata yang dielu-elukan. Lupa dengan matinya, lupa dengan siapa ia tercipta, lupa dengan akhiratnya. Di negeri bertopeng, rusa-rusa menjadi kambing, tikus-tikus menjadi kucing, dan kucing-kucing menjadi anjing. Di negeri bertopeng, manusia berlari lupa berjalan. Di negeri bertopeng, manusia berjalan lupa berdiri. Di negeri bertopeng, orang sepertimu di hiasi senyum getir tanda tak lucu. Di negeri bertopeng, kucing menggong-gong anjingkan berlalu. Di negeri bertopeng.... hadirkan rindu pada negeri berwajah tak semu. Sebuah catatan malam, dengan mimpi yang hampir pudar oleh rin

Rasa tanpa definisi pada kamis hari

Berjalan melalui mu dengan seonggok rasa yang tak terjemahkan. Adalah yang tadi aku rasakan di kamis ke dua bulan februari. Itu berarti, ini adalah bulan ke delapan kita telah saling mengenal. Meski sebenarnya kita tak benar-benar saling mengenal, mungkin akan lebih tepat jika kita menyebutnya dengan "sekedar mengenal". Ya, kalimat itu lebih pantas diceritakan dalam kisah kita ini. Namamu Je, aku mengetahui nama itu setelah kamu sendiri yang mempersilahkanku mengetahuinya. Delapan bulan lalu, tepat ketika kita belum disibukkan dengan berbagai tugas yang melelahkan batin dan raga. Aku masih mengenal mu dengan pencitraan mu sebagai sosok yang "kalem". Aku masih mengenalmu sebagai sosok baru yang menghadirkan sebuah rasa yang aku sendiri baru mengenali rasa itu, karna kamu, ya... Rasa yang tak ku kenali itu hadir bersama kehadiran sosokmu dalam hidupku. Jika saja kalimat ini masih pantas ku ucapkan ke pada mu. Jika saja tiap detik waktu berjalan dapat ku kendalikan,

Yang masih kuat untuk disakiti

Lihatlah cinta yang maha kaya bagai air bah meluapi daratan. Lihatlah dedaunan yang tumbuh lebat pada pepohonan hutan hujan. Lihatlah kobaran api yang cahayanya menyilaukan mata. Semua itu akan surut, semua itu akan gugur, semua itu akan redup. Ketika apa yang digenggam tak lagi dapat dipegang. Ketika apa yang dijanjikan hanyalah wujud sesaat dari sebuah bualan. Ketika itu...ada sadar coba membuka kenyataan bahwa cinta hanyalah permainan dari sebuah cerita, hanyalah sebuah tipuan waktu antara saat suka dan saat tak lagi ada rasa. Aku yang masih berdiri di sini, menunggumu pulang lalu mengajakku kembali berbincang. Dihantui bayangan bahwa dirimu akan hilang. Dan disini, hanya tersisa aku seorang yang takut menerima kenyataan. Untuk satu waktu ketika aku tau kamu sudah ada yang baru, aku yang lama hannya bisa menjadi jiwa ringkih yang meringis perih karena sedih. Kekecewaanku tak bertepi maupun menepi. Kesedihanku tak jua meredup maupun surut. Semakin hari semakin waktu hanya aku send

Dia dan kaca jendela

Dan aku masih berjalan dalam arah yang beralawanan. Melawan arus hatiku sendiri. Mencoba katakan tidak namun tetap iya jawabannya. Lagi lagi siang tadi, ketika hujan beranjak meneteskan dirinya ke bumi, aku menemukam pemilik senyum itu. Dari balik jendela kusam yang memberiku kesempatan untuk menatap ke arahnya. Pantulan dirinya samar namun pasti menggodaku untuk lekat-lekat memandanginya. Serasa tertiupi angin surga, bahkan pagi tadi aku dan dia juga berjalan dalam satu garis diagonal yang sama. Dia berjalan di belakangku dan aku yang berjalan di depannya bersikap seolah tak tau apa-apa. Lorong dengan lantai kotor bekas jejak sepatu yang dipenuhi lumpur khas dengan suasana lantai sekolah saat musim hujan pun serasa begitu istimewa saat aku bisa melaluinya bersama dia di belakangku. Entah mengapa semua serasa indah dan semua serasa terlalu singkat, bagai hitungan sepersekian detik yang dibagi lagi dengan jumlah rombongan semut hitam yang menemukan guguran gula berjatuhan di atas lant