Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2017

The Radio #1

Waktu itu 2011, hiburan sosial media belum terlalu "berlebihan". Sepulang sekolah, seperti biasa, aku me-sailent hp, menghidupkan radio, memutar-mutar tombol saluran, mencari saluran radio langganan, 92.9 fm. Ketemu!. Kemudian dengan sepenuh hati serta raga yang cukup lelah aku merebahkan badan ku di atas tempat tidur. Benar-benar momen yang pantas disebut "nikmat". Lagu-lagu band lokal pun terdengar. Tak lama kemudian, masuk sesi lagu band-band indie diputarkan. Ah, ini yang selalu dinantikan. Ada perasaan tenang, redup serta damai memenuhi seisi ruangan kamar. Iseng mengambil hp, aku mengetik pesan request lagu untuk ku kirimkan ke penyiar radio. "Req. Biasanya ya mbak "the radio band- radio. Salamnya buat mas Abima Sapta, semangat kuliah ya mas. Hehe" Selesai. Kemudian ku kirim pesan tersebut. Tiga menit kemudian pesan dibacakan. Mission complecated!. 2 tahun berlangganan 92.9fm dan 11 bulan menjelang satu tahun mengenal mas Bima yang lebih suk

Cemburu

Ketika cemburu menghantui. Dan ku rasa, bila ternyata wanita yang sempat kau cintai itu jauh lebih banyak disayangi banyak orang, banyak teman, maka aku kesakitan sekarang. Aku tak tahu bagaimana tahap cemburu berlangsung, yang ku tahu, sekarang dia sedang merasuk di setiap pembuluh darah ku. Menyakitkan. Kesanksianku melihatnya adalah setiap detik yang aku punya. Tanpa terlupakan, tentunya juga sejak aku tahu bahwa dialah wanita yang kamu cinta di samping kesibukan mu merajut harap dengan aku. Menyakitkan. Aku lah getir-getir menyedihkan saat ini. Membenci tanpa yang dibenci punya salah kepada diri ku sendiri. Membenci tanpa yang dibenci tahu bahwa dirinya tengah dibenci, oleh orang yang membencinya tanpa sebab mengapa. Menyedihkan. Hari-hari menyesakkan terlampaui. Seharusnya, memang benar-benar seharusnya, kini aku tak lagi perlu membenci wanita itu. Memang benar-benar seharusnya tidak lagi perlu. S'bab, kamu yang menjadi alasanku untuk membencinya karena cemburu pun, kinipu

HENTI

Ketika kita dihadapkan pada kebingungan-kebingungan, aku tak lebih dari sekedar anak kehilangan ibunya, sedangkan kau, kau diam, membisu beribu kata mematung di ujung dari ruangan mu sekarang. Mengamati lamat-lamat gelap yang mulai mencerna pikiran mu. Kita selalu begini, terulang, dan selalu. Tak pernah berujung dan kemudian terlupakan. Hingga pada satu titik kemungkinan, semua kembali terulang, lagi, dan selalu sama. Pendewasaan tak pernah bermakna apa-apa diantara kita berdua. Kita tak pernah belajar. Tak pernah pula saling mengajarkan. Kita begini, terulang, dan lagi. Ada sesekali waktu aku atau kau memulai pembicaraan. Menanyakan yang lebih tepatnya menyela meminta perdamaian, tentang apa salah dari siapa, tentang siapa salah apa. Sedikit menemu titik terang, kemudian damai terulang, kita begini dan lagi. Lagi, lagi dari lagi yang kesekian kali, di ujung ini akhirnya memilih berhenti. Kata mu, kita usai dulu.