Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

Solo Hujan, Jogja Apa Kabar ?

Dari Solo Untuk Jogja Dan lalu... O, langkahku tak lagi jauh kini Memudar biruku Jangan lagi pulang! Jangan lagi datang! Jangan lagi pulang, rindu! Pergi jauh!* [*Float-Pulang] Ananda... Solo hujan, Jogja apa kabar ? Malam ini tak ada dering dari pesan mu. Aku yakin, jadwal kuliah hari ini serta hujan sore tadi menyisakan lelah di diri mu. Kamu lupa mengabari ku rindu dan kini kamu pasti sedang meringkuk malas di atas kasur kost mu, terlelap... dan manis. Ananda.... Di dalam lelap mu nan lelah, aku harap ada satu bayang ku menghinggapi mimpi mu malam ini. Terbangunlah esok nanti, lalu kabari aku bagaimana kamu kemarin. Karena rindu ku tak tertahan, hanya bisa ku putar lagu sendu pengobat rindu aku pada mu. Jauh kiloan meter bukan berarti pertanda usai. Kangum ku pada mu yang amat sempurna di mata ku masih saja terus bergejolak. Bayang antara pertemuan nanti saat kamu pulang sudah menjulang di awang. Nanti, biar ku rebahkan rindu di pundak ternyaman mu. Akan ku ceritakan

Kepada Mas dan Sepucuk Rindu Yang Terselip di Pertengahan Juni

Bukan lagi soal untuk siapa, dengan siapa dan demi siapa. Pada tahap ini aku telah belajar banyak hal. Kurang lebih seperti yang secara tidak langsung yang telah kamu ajarkan. Ya, aku telah belajar merelakan. Mungkin dulu aku selalu melulukan jika kepergian mu bukanlah baik-baik saja bagi ku, tapi aku salah. Esok menjelang sehabis tangis ku semalam hanya menyisakan sembam di mata ku untuk beberapa hari. Selanjutnya ?!?, akhirnya kopi panas kental berhasil menjadikan hari ku tetap kembali baik-baik saja seperti sebelumnya. Ada ataupun tiada kamu bukan lagi menjadi persoalan untuk aku tetap memilih pulih. "Mas, sekarang aku baik-baik saja" Hebatnya, aku masih sering melantunkan nyanyian favorit mu. Bukan karena ingin tetap merindu, hanya saja selera musikku kini menjadi satu selera dengan musikmu. Aku mulai menyukai apa yang kamu sukai, bahkan tak terkecuali dengan "milik mu yang baru". Aku tak membencinya, sedikitpun! Bahkan aku mulai memilih kagum. Aneh memang ke

Aku Pendongeng dan Kau Si Tuli

Judul itu seharusnya telah menjelaskan lebih kepada mu tentang apa yang sedang ingin ku tulis kali ini. Malangnya, aku berkesempatan lebih mempunyai banyak waktu untuk menjabarkannya. Kau tau mengapa ?, karena tulisan ku tak pernah kamu buru untuk kamu baca. Sesegera ataupun selambat apapun, dongengku masih saja sama; basi untuk kamu baca. Kepada kamu wahai Tuan Tuli... Hingga mulutku berbusa mendongengi mu, aku akan tetap paham jika telingamu tetap memilih menuli dari omong kosong ku. Hingga jemariku rontok mengetik kisah tentang kamu, aku akan tetap paham jika mata dan batin mu tetap memilih membuta aksara dari baris-baris paragraf dongengku. Rindu ku akan tetap tak bersuara di telinga mu. Hangat sapa ku tak akan pernah berhasil mencairkan beku rasa mu. Aku akan tetap menjadi yang kau enggani. Sedang, kamu masih tetap menjadi yang aku segani. Rindu ku tak terbatas, tapi rupa mu masih saja memilih melepas. Tak membiarkan aku berkesempatan untuk menjumpai mu dalam satu sekat yang s

Uap Kopi Enggan Mendusta

Sepahit apapun, aku masih tetap mem-favoritkan uap dari kopi mu. Sekarang, dulu, nanti; sayang ku tetap sama. Penghargaan terbesar dalam hidup ku adalah pernah berkesempatan mencicipi kopi mu dengan takaran gula berlebih; pahitnya tak berasa, tapi tetap nikmat. Adakalanya aku rindu kopi manis mu. Adakalanya aku ingin kembali berkesempatan mencicipi kopi manis mu. Adakalanya juga, lebih baik menikmati kopi pahit mu; karena nyatanya, rasa asli dari kopi adalah pahit, itulah kopi yang terjujur. Terlepas dari perbedaan takaran manis pahit kopi mu, aroma uap kopi tak pernah bisa mendusta. Kopi manis ataupun kopi pahit aromanya tetap sama; menyetiakan nikmat. Dan begitulah aku menganalogikan sayang ku pada mu. Lalu, Hingga bagian kalimat ini Apa kamu sudah paham bagaimana rasa ku ke kamu hingga detik ini ?; Cinta ku: kopi itu. Kamu ? : takaran secangkir kopi itu Aku ? : pembual tulisan ini Selamat malam, aku rindu "kita" -payung ku terbang-

Menyetia ke tiga: selamat puasa Senja~

Lucunya, kita telah melewati hal yang sama ini lebih dari satu kali. Suasana ini, momen menyenangkan ini, kamu, aku dan sekian kosa kata yang telah saling kita utarakan. Dulu kita masih terlalu canggung memulai perbincangan. Hingga akhirnya suasana nyaman mendukung aku dan kamu untuk saling mengenal lebih dalam. Aku mempercayai mu untuk ikut jauh melangkah bersama. Waktu berlalu semakin memberi keyakinan jika kamu pantas untuk menjadi alasan mengapa aku bahagia. Senyum mu yang meneduhkan, rangkaian kosa kata santun mu yang menentramkan, wajah tegas mu yang rupawan semakin membuatku larut dalam pusaran sayang yang paling dalam; aku sayang kamu. Tahun ke tiga menjadi penyetia mu; dan akan tetap menyetia. Masih menyenangkan sekalipun tak semenyenangkan di tahun pertama dan ke dua. Entahlah.... tapi hingga di detik ini, aku masih menikmati indah mu. Kamulah angan yang paling aku agungkan. Jingga senja yang masih saja sama mempesonanya. Kamulah rindu yang masih aku peluk erat di balik se

Di Dulu Itu Indah~

Aku rindu rindu dengan sesuatu yang ku sebut "rindu" Rindu dengan sebuah dulu Tanpa aku dan kau Tanpa siapapun Dengan tenang yang menyamankan Aku mau kembali Pada sebuah dulu Tanpa kini Tanpa maya Aku mau nyata Hanya ada buku, aku, dan rindu Aku ingin.... Kembali mendongeng lebih banyak Kembali menulis lebih panjang Kembali membaca lebih gila Aku ingin.... Tanpa kau Aku ingin

Es Teh Manis

Lucunya, aku mulai jatih hati pada mu ketika semua hampir terbenam; waktu. Dua bulan berlalu, parade kelulusan telah menjadi cerita usang. Semenjak itu kamu menawarkan sepucuk surat rindu setiap paginya. Kata mu, "ini nanti sebagai penawar rindu jika kita sudah saling jauh; entah jarak, entah rasa". Aku menerimanya, menyimpan aman surat-surat rindu mu. Rencananya kamu akan pergi jauh, Kuliah di ujung barat pulau. Sedangkan aku masih menetap di kota yang sama saat kita bertemu; di kota ini. Tak masalah bagi ku jauh dari mu. Pikirku, toh semua akan kembali "normal" pada waktunya. Jauh jarak sekalipun, apapun yang terjadi nanti aku masih akan mempercayaimu sebagai teman; tapi cinta. Pun kamu hilang, menjauh atau diam-diam berganti haluan, aku tetap teman mu; entah tetap cinta atau malah menjelang benci. Aku akan mengunjungi mu sesekali. Memastikan wajah mu tak akan berubah sekalipun dikerubung debu perkotaan. Atau sebaliknya, aku akan merengek meminta mu pulang, m