Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015

KOPI HANGAT TAK SENIKMAT KOPI PANAS

Bila saja waktu dapat memihak kepada pemilik hati yang selalu gusar pada setiap malam-malam kelam. Ingin rasanya ku sampaikan lampiran pesan rindu kepada Mas Jaka. Semoga saja dibacanya entah sebagai bualan semata atau dianggapnya kata per kata yang nyata yang sedang ku rasa. Teruntuk Mas Jaka yang berada jauh di sana, yang entah kapan pulang untuk sekedar berjumpa menyetuskan sapa. Jujur dari lubuk hati terdalam dan terdasar ku, aku merindukanmu. Dua bulan bukanlah waktu yang singkat sebagai langkah awal perjumpaan kita. Menemukanmu di antara puluhan pengunjung warung kopi ini bukan pula hal mudah semudah menyeruput kopi hangat yang kau teguk setiap paginya. Masih ku ingat ketika untuk pertama kalinya aku meladeni pesananmu. Satu gelas kopi hitam ditambah setengah sendok gula dan air yang kau pesan tidak terlalu panas, serta delapan kali adukan yang kau minta dan selalu kau anggap sebagai symbol keberuntungan mu setiap harinya. “seperti angka delapan, semoga keberuntungan

Yang tersendiri

Letih yang coba kami terima menjelma menjadi perih yang kami rasa. Kami bingung dalam kegelapan. Rasa-rasa mulai memudar digantikan masa. Sepi mengahantui dalam sunyi kesendirian. Jiwa kami haus dengan tetesan pesan berkesan. Kami sendiri, di pojok kamar menanti menit per menit yang tiada arti. Kami gelisah merasakan resah. Gundah mulai menggeliat di benak kami. Gemuruh rasa mulai terdengar kencang mematahkan tombak kesabaran. Kami, yang dalam ketunggalan ini, berdiri mematung menatap langit tanpa ujung. Merebahkan tubuh menikmati sunyi dalam gelap pada ruang hidup yang pengap. Dalam keresahan masa yang entah bagaimana harus kami terima. Dalam kegundahan hati yang entah bagai mana harus kami mengerti. Ketika kami mulai mencari-cari apa yang kami tunggu. Di situlah kami menjadi bukan diri kami. Namun beginilah kami, kami yang dalam ketunggalan ini, pada masa yang masih kami coba nikmati~~~

Identitas tanpa cerita

Kembali pada langkah yang sama. Ketika yang sudah tak berarti kembali diartikan. Rasa-rasa mulai kembali diterjemahkan. Meraba waktu berlalu, menarik masa kembali pada yang pertama. Ada getar yang kembali bergelombang. Ada getar yang menggagalkan lupa. Kembali tentang siang di gedung tua. Gedung seribu cerita dengan jutaan rasa. Namanya, identitas terakhir penutup rasa. Berikan kesempatan keingin tahuan untuk menuai jawaban atas tanyanya. Terpikir jika kisah ini akan sempurna. Sesempurna kisah surga di nirwana layar kaca. Namun tidak.... Khayalanlah yang ternyata lebih sempurna, nyatanya.... Pedih. Langkah kisah itu berhenti pada satu identitas yang kini tak lagi memenuhi tanyanya. Akan dia temui satu perjalanan bersama identitas itu, namun dengan jutaan rasa yang telah diterjemahkan berbeda. Akan tiada lagi kisah saling berkisah. Hanya menyisakan dua anak manusia yang kembali berkisah tanpa identitas. Hanya menyisakan dua anak manusia yang berjalan sama namun telah hidup dalam dim

Dewata seribu langkah tresna

Malam untuk Pangeran eR ku yang masih menjadi kekasihnya~ Lelah perjalanan ku adalah lelah perjalanan mu. Bali telah menjadi jawa untuk aku dan kau kembali pulang. Berdekapan dengan malam di balik dinding kamar. Bersinggung sapa dengan bintang disertai tetesan hujan malam. Masih serasa seperti jelmaan ilusi, ketika aku bisa merasa sepi tanpa sepasang mata yang selalu ku cari-cari. Tiba-tiba hati ini hambar, resah berkecamuk dengan gusar. Tiba-tiba rindu ini bermunculan, datang bagai kecambah tumbuh di musim hujan. Langkahan kita di atas pasir kuta, langkahan kita di atas tanah lot, langkahan kita di antrian kasir perbelanjaan joger adalah langkahan kita yang hanya aku seorang pada kelak nanti akan merindukannya, adalah langkahan kita yang kamu pada kini dan entah hingga kapan nanti akan tetap tak menyadarinya. Menyadari kehadiran aku, sang penguntit mu :") Setiap langkahmu adalaha pandangan yang tak pernah ku lepas walau sedetik kedipan mata. Kaos merah, coklat, hitam dan hingg

Horang Kehren tour ke Bali

Di pagi yang cerah saat bebek-bebek udah mulai kehilangan unsur "B" nya, sepi mulai menjelma dalam ruangan 2×3 meter ini. Dan perjalanan lima hari di tanah Bali serasa hanya mimpi *ahh...tsah... Hallo cakeps, hay cantiks.... Mau baca cerita aku ga ?? Mau dong...mau deh...mau lah... Mau ga ?? Ha ?? MAU GA ?? MAU GA WOYY...!!! JAWAB WOY!!!! *mulai rusuh (oke, abaikan) Lima hari lalu bersama kawan-kawan tercinta SMA (meski yang jomblo ga ada yang mencintai, uuhhhh kaciaaaan... *ngelus ubun-ubun sendiri) kita [sok] jadi traveler gitu deh... Tujuan utama kita ke Pulau Bali, iya...Pulau Bali... Itu tuh...pulau yang banyak dijadiin tempat buat FTV dan sebenernya lima dari sepuluh orang yang mengikuti acara tour ini datang ke bali cuma karena terobsesi pengen liat syutingnya FTV (tapi FAIL). Awal kisah (dan pastinya sebelum negara api menyerang hingga hujan meteor coklat di ladang gandum) sempet ada momen rese yang kita alami. Mulai dari pendataan bus yang ga sesuai ke inginan, t

Good morning her prince

Hallo bali.... Selamat pagi dan selamat bahagia Bahagia dalam diam-diam yang mencemburukan Hahaha :D lucu Hallo her prince.... Good morning.... Senang bisa menyapamu dalam kagum yang masih terbungkus malu ini. Senang bisa menikmati tiga puluh enam jam berpijak pada pulau yang sama dengan mu. Meski tanpa sapa, cengkrama maupun ingin tahu nama. Tak apalah.... Lagi pula ini caraku, caraku mendamaikan hati yang bergejolak rindu. Menahan jeritan kagum yang menderu-deru, cukup dalam diam yang terbumbuhi senyum-senyum lucu rasa girang. Akankah kau ingat, satu momen yang mungkin kau sendiri tak akan menyadarinya. Pada jam ke dua belas kaki kita memijak ditanah seberang jawa, kau, aku, dan beberapa pemeran pembantu terjebak dalam satu dimensi yang hanya aku seorang yang bisa bahagia pada momen sesederhana itu. Kau, berdiri dibarisan yang sama denganku, kasir saksi bisunya. Dan aku ?!? Hahah :D aku saksi naksirnya ^^ Malam tadi akupun juga melihatmu. Mondar-mandir tak jelas di lantai satu

Panggung beda rasa

Sebutir manis itu telah menjadi hambar yang menjelma Apa yang sempat disembah agungkan tergelincir terpuruk pada sudut pijakan asing Tersisa satu pandangan yang tak lagi berasa sama Tersisa sisi lain dari indah tempat ini Sepatu, si pemeran terpayah dan si penguntit terhebat Dua jelmaan yang kini berlainan alur drama, berlawanan tutur rasa, bersinggungan sisa sapa-sapa bisu Tempat asing akan tetap terasa asing Kaki yang pernah memijak hanya akan menyisakan jejak-jejak yang lambat laun terhapus ombak Hanya satu bungkus oleh-oleh terhebat Dia Kenangan..... Yang terhebat Yang terindah Dan enggan melupa Dan sekedar jarak dua ribu milimeter Sekedar itu, cukup menjadi materi coretan pagi ini Dan sepenggal hambar ini, cukup menjadi jelmaan rasa yang pantas ditetap adakan oleh rasa yang tiada lalu diadakan dan kembali ditiadakan Ya, Kami Yang diadakan dan ditiadakan Bukan yang mengadakan dan mentidakadakan Inilah kami, pemeran pasif drama ini :) Percayalah...kami masih ba

Perindu senja

Senja adalah kabar yang tak tersampaikan Yang enggan diungkit untuk dikenang Senjaku sirna dimakan waktu Bebekas rindu yang beranak cucu Senjaku kini tiada tanpa kabar Tanpa pesan terakhir untuk ku dengar Tiada lagi cerita dapat tertulis Tiada lagi kata irama puitis Senjaku pergih... Senjaku sunyi.... Senjaku tak lagi berarti.....

Penguntit terhebat

Dia adalah bayangan dalam terang mentari siang, adalah yang terhebat yang berhasil menirukan setiap jejak pijak langkah diatas tanah. Deru sepatunya kencang terdengar, menambah suasana hening semakin mencengkam. Kedatangannya adalah hujan angin yang menggoyangkan pepohonan. Mengugurkan daun-daun kering yang ditinggalkannya tanpa pesan. Ini adalah tentang tadi siang. Ketika apa yang dilaluinya tak lagi menawan. Tak semenarik bulan kemarin ketika awan masih enggan mendekap malam tanpa bintang. Ketika masih tertulis diatas kertas sebagai bulan ke sembilan. Perasaan itu kini mati lalu datanglah takut yang menghantui. Rasa canggung mulai tumbuh bagai kecambah musim hujan. Hanya dapat berlari ketika dulu yang dicari kini berdiri di depan kaki. Canggung itu mengalahkan segalanya. Merubah rasa menjadi enggan untuk merdeka. Tersisa satu ruang yang tadi siang ingin didatangi. Tak sengaja deru kaki berhenti berlari mencari arah lain. Dikalahkan oleh canggung yang tak seharusnya hadir memperk