KONVERSI
CERPEN DARI FILM
“3
HATI 2 DUNIA 1 CINTA”
Aku tak pernah
memimpikan mu hingga aku dan kamu mejadi kita. Hingga bahkan apa yang tak
pernah ku impikan itu menjadi sebuah hal yang nyata, aku pun juga tak pernah
menginginkan mu menjadi seiman dengan ku, begitupun juga degan kamu. Kita
mengalir, meski yang terlihat kita yang melawan arus. Kita mengikuti takdir,
meski yang terlihat kita saling murtad.
Penampilan mu malam ini
lagi-lagi mengagumkan, meski itu hanya aku yang berpendapat. Entah lah bagai mana
dengan mereka yang sehabis penampilanmu tadi hanya terdiam mematung tanpa
memeberi tepukan tangan. Terlihat wajah mu yang lesu di sertai kekecewaan atas
diri mu sendiri. Sambil berlarian kecil aku mengikuti langkah mu.
“sabar dong Sid… jangan
cemberut gitu, kalau cemberut rambut kamu makin kribu loh.. hehehe..”, ucap ku
yang coba menghiburmu.
“enggak lucu!”
“perasaan lucu deh ?!”
“enggak!, semua orang
enggak bisa menghargai sastra!”
“ya susah lah Sid kalau
buat melawan budaya pop”
“siapa yang melawan budaya
pop, aku cuma mau menghidupkan budaya sastra”, ucapmu sambil mencoba menstatar
motor.
“menghidupkan motor aja
enggak bisa, gimana mau menghidupkan sastra”, ejek ku melihat mu yang kesusahan
saat menghidupkan motor jadul mu.
“nah…udah nyala nih
motornya, udah buruan, ayo naik! Tapi inget! Jangn pegangan”
“terus aku pengagan apa
dong ?”
“pegangan sana sama
Tuhan!”, Dan malam itu sebuah tawa mengakhiri pertemuan kita.
Sebuah kejutan besar kini telah kita terima, umi,
abah, mami dan papi ku kini telah mengetahui hubungan kita. Abah mu marah besar
ketika dua hari lalu kamu mengajak ku berkunjung ke rumah mu, memperkenal aku
adalah kekasih mu. Sebuah kalung salib yang melingkar di leher ku sudah cukup
memberikan penjelasan lebih kepada Abah mu tentag perbedaan kita. Umi mu justru
yang bisa lebih bersahabat dengan perbedaan kita ini. Namun, apalah daya, umi
mu hanyalah istri dari Abah mu yang meski bagaimana pun ia hanya dapat menurut
kepada keputusan Abah mu untuk tidak merestui hubungan kita. Sedangkan dari
pihak keluarga ku, bahkan sejak ku perkenalkan kamu kepada mami dan papi untuk
pertama kalinya, mami dan papi ku pun hanya separuh hati menerima keeradaan mu.
“Malam om…malam tante….”
“Malam, kamu ini teman kuliahnya Delia ?”, Tanya
mami.
“Bukan tante”
“Teman kerja ?”
“Bukan juga tante hehehe…”
“Lalu ?, kerjaan kamu apa ?”
“Dia ini penulis sekaligus penyair pencetus WS
Rendra Ma…”, sahut ku mencoa memberi penjelasan kepada mami.
“oh ya ??, mami kira setelah Rendra gak ada lagi
yang mau jadi penyair”
“Ada Tante, Saya. Hehehe…”, jawab mu polos. Selang
dari itu mami menarik ku ke kamar, menanyai tentang ke dekatan kita.
“kamu teman dekatnya Delia ?”, Tanya papi ke padamu
yang saat itu aku sedang berada di kamar bersama mami.
“ya..begitulah om”
“kamu serius ?”, Tanya papi sekali lagi.
“begitulah”
“saya kasih nasehat sedikit boleh ?”
“boleh om”
“tidak mudah buat Kamu, buat Delia, buat kami dan
juga buat keluarga Kamu, jadi tolong pikirkan lagi”
“begitu ya om ?”
“ya…begitu lah”
Lagi-lagi semua
membatasi ini karena masalah perbedaan. Lagi-lagi aku dan kamu menjadi sepasang
yang selalu dipandang salah. Lagi-lagi kita, kita dan kita diharuskan tidak
pernah menjadi kita. Beberapa kali kami mencoba member keputusan tentang
langkah kami ke depan nanti namun selalu saja hasilnya nihil. Masih saja dengan
kondisi aku dengan iman ku dan kamu dengan iman mu. Pernah ku mencoba, setidak
nya demi hubungan kita ini agar kamu mau meninggal kan kepercayaan mu.
“apa susahnya sih Sid
kamu ngambil keputusan, kamu kan laki-laki!”
“ya terus mau kamu aku
harus ngambil keputusan yang bagaimana ?”
“kenapa kamu enggak
pindah agama aja ?!, dan kalau semua itu terjadi semua masalah ini beres Sid”,
ucap ku kala itu yang sudah mulai kalap.
“pindah agama ?!?!,
lalu jika aku ngelakuin itu, kamu masih yakin mau menikah dengan ku ??, Tuhan
saja aku hianati apalagi kamu”, ku hanya terdiam mendengar jawaban mu.
Di hari seterusnya, kita
kembali menerima kejutan ke dua. Tanpa sepengetahuan ku, papi dan mami telah
mempersiapkan kuliah ku di Amerika. Dan tanpa sepengetahuan mu pula, abah dan
umi mu telah mempersiapkan jodoh untuk mu seorang gadis yang ku tahu namanya adalah
Nabila, gadis cantik, anak dari sahabat karib abah mu, berjilbab dan tentunya
seiman. Semua ini benar-benar jauh melampaui batas dari yang kami bayangkan.
Aku memilih mengurung diri di kamar dan kamu memilih kabur dari rumah
meninggalkan abah mu yang murka dan umi mu yang di luput kekhawatiran.
Namun orang tua mana
yang tidak sedih melihat anaknya sedih. Jauh dari yang kita tau, mereka justru
lebih sedih dari kesedihan yang kita rasakan. Mami dan papi kini lebih memilih
menyerahkan semua keputusan kepada ku. Begitu juga dengan abah mu yang
mengikhlaskan mu untuk mengambil keputusan.
Malam pukul Sembilan
setelah acara pentas puisi mu yang tidak perah terdengar gemuruh tepuk tangan,
aku dan kamu memutuskan untuk mengambil keputusan malam ini. Diatas panggung
yang telah sepi oleh penonton, berbekaskan mata ku yang sembab karena menangis
semalaman, aku memepertanyakan keputusan mu terlebih dahulu.
“Sid…malam ini kmu janji
akan ngambil keputusan”
“kamu sendiri ?”
“jujur samapai sekarang
aku juga belum tahu”
“kita memang tidak
pernah punyai jawaban yang pasti karena memang setiap orang berbeda pendapat
dan juga keyakinan”
“jadi ?”
“jadi…ya… kita harus
berani mengambil keputusan meski dengan jawaban yang tidak pasti”
Akhirnya dengan sebuah kaliamat “kita lihat saja
nanti” menjadi keputusan kita malam ini. Ya, kita tetap megalir mengikuti
takdir. Menunggu pada kesempatan lain untuk bisa di pertemukan di dalam arus
yang sama, arus yang tidak hanya sama di mata kita tapi juga di mata semua
orang serta Tuhan kami. Arus yag tidak hanya benar menurut kita tapi juga
menurut semua oleh mereka yang berada di sekitar kita, karena kita percaya Tuhan
tidak pernah salah menuliskan kisah.
Komentar
Posting Komentar